Selasa, Februari 17, 2009

Wisata Rohani Alumni 2008 - Tiga Hari Menakjubkan

Alumni 2008 punya cerita, alumni yang dikomandoi oleh Fikrie Dzikrillah itu punya cara tersendiri untuk memanfaatkan liburan kuliahnya. Mereka mengadakan acara Bakti Sosial di Dusun Mendek Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Kegiatan ini tentunya sangat membanggakan, sebab meski MAN 3 Malang sudah melepas mereka di wisuda 2008 lalu. Namun mereka tetap mencatumkan embel-embel MAN 3 dalam aksinya

Ada aksi tentunya ada cerita indah yang mengiringi mereka, cerita ini dituangkan oleh salah satu alumni 2008 yang mengikuti acara itu
Seserius mungkin aku mengatur mimik muka. Rasa penyesalan sungguh terlihat dalam matanya. Tak pernah kubayangkan, aku mendengar sendiri bahwa ia bercerita tentang masa lalunya. Sungguh aku tak percaya, cerita-cerita yang pernah kudapati dalam film, novel, atau sinetron, kini benar nyata di hadapanku. Ia menyuguhkan mimik penyesalan yang sangat. Dan entah mengapa aku begitu yakin, ia jujur padaku, sebab ceritanya mengalir begitu saja laksana air terjun yang terus menghujami bebatuan.

“ Saya sangat menyesal, Mbak, tidak berpikiran jauh ke depan. Saya masih kecil, jadi nurut saja sama orang tua. Empat belas tahun usia Saya saat itu.”

Aku mencoba mengerti. Di tempat tempat terpencil yang memiliki singgasana khusus dalam hatiku itu, tradisi memang sangat sulit untuk dihilangkan. Bahkan tradisi-tradisi yang tidak masuk akal pun masih dipegang teguh warganya.

“ Memangnya, umur Mbak sekarang berapa?” tanyaku pada wanita berparas manis itu.

“ Delapan belas tahun Bulan Juni nanti.”

“ Wah, masih sangat muda, Mbak,” aku terpana mendengarnya.

“ Ya nggak, Mbak. Di sini umur segitu sudah disebut perawan tua.”

Aku tercengang dengan mulut terbuka berbentuk abjad ‘O’. Sungguh tak bisa kupercaya. Pemikiran yang sangat tidak masuk akal.

******


“Monggo, Mas... Monggo, Mbak...”

Mereka menyapa kami dengan keramahan yang khas. Senyum mereka tulus, polos, dan apa adanya, sungguh membuat kami merasa begitu penting berada di tempat itu. Di masjid kecil itu, di Masjid Ar-Rahmah kami 28 orang alumni MAN 3 Malang angkatan 2008 beserta Pak Sugeng selaku ketua ikatan alumni, Pak Insan selaku wakil dari guru, Pak Ghofur selaku tokoh agama, dan Pak ... selaku ketua RT setempat, telah duduk rapi dan hikmat mengikuti acara pembukaan Bakti Sosial di Dusun Mendek, Desa Srigading, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.

Kami terpesona oleh kealamian Dusun Mendek. Masih kami rasakan perjuangan dari basecamp kami menuju tempat terpencil, di puncak gunung, dan tidak mengherankan bila sinyal ponsel susah sekali didapatkan. Dari Kota Malang yang ramai dengan banyak gedung sekolah dan toko, melewati jalan panjang menuju kabupaten Malang yang berangsur-angsur berkurang keramaiannya. Begitu kami memasuki kawasan pegunungan, hawa sejuk begitu terasa. Tubuh kami terguncang-guncang selama perjalanan, sebab truk yang kami naiki juga harus berbelok-belok menjaga keseimbangan mengikuti jananan yang berliku, serta naik turun.

Kami mulai memasuki jalanan bebatuan, meski tubuh lebih terguncang-guncang, tak menghalangi rasa suka cita kami dalam perjalanan itu. Sebab, kami telah bisa melihat segala pemandangan menakjubkan dari ketinggian yang hawanya sanggup membuat kami menggigil. Meski dengan tubuh terguncang, kami begitu narsis berfoto-foto ria mengabadikan perjalanan menakjubkan itu.

Ketika memasuki kawasan perkampungan, kami merasa sangat miris. Rumah-rumah penduduk terlihat banyak yang terkesan ‘kumal’, menandakan bahwa mereka butuh uluran tangan. Hewan ternak dipelihara di dalam rumah, dan kotorannya yang menumpuk sampai membuat hidung kami terusik ketika melewatinya. Kami juga jarang menjumpai sekolah. Perjalanan kami masih jauh, masih ada perkampungan lain lagi yang harus kami lewati.

Menakjubkan, sambutan warga Dusun Mendek ketika kami datang sampai membuat kami semakin bertekad untuk sedikit membantu membuat perubahan di sana. Warga begitu antusias. Mereka memang sudah mengenal baik MAN 3 Malang, sebab tahun lalu, MAN 3 Malang telah mengadakan Bakti Sosial di dusun itu selama 10 hari, beberapa bulan kemudian, MAN 3 Malang datang kembali selama 3 hari untuk bersilaturahim. Jadi, inilah kali ketiga, mereka para warga Dusun Mendek mendapatkan tamu atas nama MAN 3 Malang, meski kali ini adalah dari ikatan alumni 2008. Inilah pertama kalinya ikatan alumni MAN 3 Malang mengadakan reuni disertai dengan bakti sosial, dan ini belum pernah terjadi pada ikatan-ikatan alumni sebelumnya.

******


“ Waalaikumsalaaam warahmatullaaahi wabarakaaatuh!!” dengan serempak dan semangat mereka menjawab salam kami.

Ya, di Madrasah Raden ... itulah dimulainya pembelajaran untuk anak-anak kecil di sana. Mereka begitu antusias, meski agak malu-malu ketika kami mulai menanyai mereka satu-satu atau ketika kami meminta mereka maju ke depan kelas. Sangat terlihat bahwa mereka haus akan ilmu pengetahuan. Tidak semua siswa madrasah bersekolah di sekolah formal. Sebenarnya mereka juga ingin bersaing menunjukkan kemampuan hebat mereka, tapi sayang, keterbatasan dana membuat mereka tidak bisa mengikuti berbagai perlombaan. Itulah sebabnya, ketika kami memberitahukan bahwa esoknya kami akan mengadakan berbagai perlombaan, mereka sangat antusias ingin mengikutinya.

Ba’da Isya, di Masjid kecil Ar-Rahmah, warga Dusun Mendek berkumpul setelah siang harinya kami beritahukan bahwa setelah Sholat Isya akan ada Mauidhotul Hasanah. Tahukah bagaimana kami beranjangsana ke rumah-rumah warga pada siang hari? Sebisa mungkin kami mengatur mimik muka yang sangat ramah, senantiasa tersenyum, serta berusaha menggunakan Bahasa Jawa Krama Inggil untuk warga di sana. Meski bahasa kami bercampur aduk –Indonesia, Jawa Kasar, sampai Krama Inggil-, mereka telah mengerti maksud kami. Warga Dusun Mendek begitu pengertian pada kami yang notabene minim dalam berbahasa Krama Inggil.

Niki... anu... anu... ba’da Isya akan ada Mauidhotul Hasanah dateng Masjid. Diharapkan Bapak kaleh Ibu saget hadir, nggeh, menawi kerso,” inilah contoh bilingual bahasa yang kami terapkan di Dusun Mendek.

Malam itu, Senin 9 Februari 2009, Mauidhotul Hasanah atau sering kami sebut diskusi, diisi oleh Ketua Pelaksana Baksti Sosial, M. Irfan Rohmatullah. Tema dari diskusi malam itu adalah hijrah, yaitu hijrah dari keadan yang kurang baik menuju keadaan yang lebih baik. Kami memberi motivasi pada warga untuk memajukan dusun mereka, Dusun Mendek. Kami juga mencoba untuk memberi pengertian pada warga untuk tidak menikahkan putri-putri mereka ketika usia mereka belum cukup dewasa. Seperti apa yang diceritakan oleh Bapak Ghofur pada saat sambutan, bahwa Dusun Mendek masih terkenal akan kealamiannya. Alami kehidupannya dan alami akan ‘kebodohannya’.

Banyak anak ingin disiplin dalam bersekolah, tetapi gurunya sendirilah yang justru menghambat keinginan mereka. Sangat melenceng jauh dari jadwal sekolah, banyak guru yang meremehkan pendidikan di sana. Mereka datang pada pukul sembilan dan memulangkan murid-muridnya pada pukul sebelas siang. Sungguh sangat miris. Begitu pula soal pernikahan dan perceraian. Putri-putri dusun tersebut banyak yang menikah setelah lulus SD. Sangat disayangkan, sebab sebenarnya masa depan mereka masihlah panjang. Jadi tidak heran bila perempuan yang seumuran dengan kami sudah menggendong dua anak.

Pak Ghofur juga sangat menyayangkan tradisi warganya tersebut. Anak-anak wanita yang baru lulus SD jelas masih belum dewasa. Masih belum bisa berpikiran jauh ke depan. Seperti percakapanku dengan seorang wanita asli Dusun Mendek yang sangat menyesali kebodohannya di masa lalu.

“ Saya bodoh sekali, Mbak. Pernikahan saya hanya berlangsung dua bulan saja. Sebab saya sendiri memang masih berpikiran seperti anak-anak pada umumnya. Saya belum tahu bagaimana seharusnya melayani suami dengan baik, memasak, menata rumah tangga, atau pun berkunjung ke rumah mertua,” ceritanya mengalir begitu saja.

Tidak hanya itu saja tradisi warga yang membuat kami geleng kepala. Warga sangat suka menggosip. Di Dusun Mendek, setiap rumah, alat, sampai batu pun punya mata dan telinga. Berita begitu cepat menyebar dan dibesar-besarkan, bahkan seringkali dipelencengkan dari kenyataan yang sebenarnya. Seperti cerita yang kudengarkan darinya.

“ Setelah saya bercerai, saya sudah kapok, Mbak. Saya tidak mau kesalahan saya berulang kembali. Saya bertekad pada diri saya bahwa saya akan menikah ketika saya sudah merasa siap untuk menikah. Maka dari itu ketika ada beberapa orang datang silih berganti melamar saya, saya tolak mereka, karena saya memang merasa belum pantas. Sikap saya yang demikian itu justeru membuat tetangga-tetangga saya berpikiran buruk terhadap saya. Mereka bilang kalau saya ini pilih-pilih. Ya Alloh, Mbak, tidak, sungguh saya tidak berpikiran seperti itu. Saya yakin, bahwa Alloh sudah menyiapkan jodoh terbaik buat saya. Kalau jodoh itu tidak ke mana.”

Aku semakin merasa empati pada wanita itu. Aku mencoba mendengarkan ceritanya, hanya mendengarkannya. Tapi aku semakin merasakan apa yang telah dirasakannya.

“ Saya mencoba bertahan, Mbak. Bayangkan, setiap hari mereka membicarakan saya. Saya kasihan dengan orang tua saya. Tapi, Mbak, yang namanya kesabaran pasti ada batasnya. Akhirnya, saat usia saya enam belas tahun, saya pergi ke Surabaya untuk bekerja di sebuah toko penjualan sepeda motor. Saya bersyukur, pemilik toko tersebut menyayangi saya, mereka sampai menganggap saya seperti anak mereka sendiri. Mereka begitu mempercayai saya. Takjubnya, sebagai orang baru di sana, justru gaji saya cepat naik. Gaji terakhir saya sampai 1,5 juta per bulan.”

Ceritanya semakin menarik saja. Aku mendengarkan kembali dengan seksama.

“ Tapi, Mbak, berita yang sampai di dusun ini lain. Warga menyangka saya melakukan pekerjaan yang ‘tidak benar’. Harus sesabar apalagi saya, Mbak? Ketika saya ingin pulang, kangen dengan orang tua, saya harus mendengar lagi omongan warga. Kalau tidak pulang, saya begitu kangen dengan orang tua. Sekarang saya istirahat. Saya masih ingin berlama-lama bersama orang tua saya di sini, padahal orang di Surabaya terus menanyakan kapan saya kembali ke Surabaya. Kalau bukan karena orang tua saya, saya tidak akan sesabar ini, Mbak.”

Dilema sekali bukan?

“ Alhamdulillah, sekarang sudah ada kemajuan di dusun ini, bahwa jika ingin menikah harus menyertakan surat kelulusan SMP. Jadi, anak yang baru lulus SD belum diperbolehkan untuk menikah. Sebenarnya, jika saya punya uang lebih, saya juga pengen nerusin sekolah lagi, Mbak.”

Siang menjelang sore, 10 Februari 2009, lapangan Dusun Mendek begitu ramai dipadati warga. Mereka antusias melihat anak-anak dan kerabatnya mengikuti perlombaan. Lomba tarik tambang untuk kaum laki-laki, dan lomba merias wajah untuk kaum wanita. Gerimis menunjukkan eksistensinyamengiringi kegiatan kami seolah tak ingin kalah dengan keberadaan kami di sana. Meski begitu, gerimis tak kan sanggup mematikan api semangat yang telah berkobar dalam diri ikatan alumni 2008 untuk memajukan Dusun Mendek.

Keinginan kami tidak muluk-muluk. Kami ingin sedikit membantu melepaskan Dusun Mendek dari kebodohan. Maka dari itu, kami bahu-membahu membuat perpustakaan mini di Masjid Ar-Rahmah dari pagi sampai siang bersama warga Dusun Mendek. Warga dengan tulus hati bersedia mencari kayu ke hutan, dan bersama panitia putra menyulap kayu-kayu tersebut menjadi rak buku yang memadai. Panitia putri pun tak ingin kalah, maka tugas dari panitia putri adalah memilih, memilah, mengelompokkan buku, serta menata dekorasi perpustakaan.

Dan pada sore harilah kami semua melepaskan penat dengan perlombaan yang menghebohkan warga Dusun Mendek. Bagaimana tidak, warga begitu antusias, baik yang ingin mengikuti perlombaan, atau pun yang menyemangati rekan-rekan dan anak-anaknya.

Yang begitu menghebohkan adalah ketika lomba make up atau yang biasa disebut lomba pupuran oleh warga. Anak-anak wanita yang mengikuti lomba ditutup matanya dan diharuskan memake over pasangannya seheboh, sebagus, dan sekreatif mungkin. Dan tahukah, bahwa pasangannya haruslah kaum lelaki. Jadi bisa dibayangkan bagaimana wajah bersih mereka seketika langsung berubah menjadi badut, dengan muka berbedak tebal, bibir semerah darah dan belepotan tak keruan, serta alis mata yang amburadul. Semua terbahak-bahak, kegembiraan bercampur menjadi satu, seolah telah lebur semua penat pada hari itu.

Ba’da Ashar, semua berkumpul di Madrasah Raden ..., sebab berbagai lomba telah kembali menanti. Lomba adzan, lomba menulis, lomba pidato, dan lomba menata puzzle huruf hijaiyah. Semua siswa antusias mengikutinya. Dan kami bisa melihat begitu banyak potensi dari anak-anak Dusun Mendek sebagai generasi penerus bangsa, sekaligus rasa prihatin sebab mereka kurang tersentuh oleh tangan pemerintah. Sangat disayangkan.

Tahukah bahwa kami begitu terharu saat membaca salah satu karya dari peserta lomba menulis? Ia menuliskan surat untuk Presiden SBY. Menceritakan cita-citanya ingin menjadi seorang dokter. Dan tahukah pula, bahwa ia ingin Presiden SBY membangunkan rumah sakit di Dusun Mendek, agar jika ada warga yang sakit tidak perlu jauh-jauh berobat, tidak perlu turun gunung, dan bila itu benar-benar terjadi, maka akan banyak jiwa yang tertolong. Sebab pernah terjadi, seorang ibu yang hamil dan hampir melahirkan tak mampu tertolong, ia dibawa warga ke dukun beranak, tapi ternyata proses kelahirannya haruslah melalui tangan-tangan medis, tidak cukup hanya ke dukun beranak. Dengan keterbatasan pengetahuan, para warga membacakan doa-doa dan mengusap-usap perut si ibu. Jiwa kedua makhluk berada di ujung tanduk, akhirnya, jiwa ibulah yang tidak mampu tertolong.

Seandainya saja kami bisa benar-benar menyampaikan suratnya pada Presiden...

******

Itulah malam terakhir bagi kami, malam peresmian perpustakaan, malam pengumuman pemenang-pemenang berbagai lomba sore itu, serta ‘nonton bareng’ film yang berjudul Kun Fayakun. Tidak hanya warga Dusun Mendek saja yang hadir di Masjid Ar-Rahmah, tetapi juga warga dari dusun-dusun tetangga. Malam itu sangat ramai. Banyak warga yang tidak dapat masuk ke dalam masjid, sebab masjidnya tidak begitu besar, sedangkan jumlah warganya begitu banyak. Kami berharap, dengan menonton film itu, warga akan semakin yakin bila di dalam diri seorang manusia ada tekad bulat untuk membuat perubahan dengan menyerahkan segalanya pada Alloh, maka tidak ada yang tidak mungkin. Sebab bila Alloh telah menghendaki sesuatu, maka Dia hanya berkata, “Kun Fayakun. Jadilah, maka jadilah!”

******

Pagi-pagi benar kami mempersiapkan segala keperluan untuk membuka pasar murah. Kami menyediakan berbagai macam pakaian, kerudung, tas, dan sepatu untuk dijual murah pada hari itu. Hari terakhir kami berada di sana, 11 Februari 2009. Ada yang berharga Rp 500, Rp 1000, Rp 1500, sampai Rp 2000. Semua untuk warga Dusun Mendek. Dan hasil penjualan dari pasar murah ini kami sumbangkan untuk kemaslahatan Dusun Mendek lewat Masjid Ar-Rahmah. Kami menargetkan, ketika kami kembali pulang, tidak ada saldo yang kami bawa, semua untuk Dusun Mendek.

Tahukah, pasar murah adalah kegiatan kami yang paling melelahkan. Sebab, warga yang datang ke pasar murah kebanyakan adalah ibu-ibu. Dan naluri ibu-ibu ketika melihat barang obralan sudah bisa dipastikan akan semakin mengganas, berebutan, tidak mau kalah satu sama lainnya. Sikap mereka berubah, dari yang begitu lembut laksana singa betina yang menidurkan anak-anaknya, menjadi ganas seperti singa yang berebutan makanan di hutan. Kami kewalahan melayani mereka. Tapi, kami senang dengan semua itu.

Setelah pasar murah selesai dengan hasil memuaskan tanpa ada satu barang pun yang terlewatkan, kami kembali beranjangsana ke rumah warga yang sangat tidak mampu untuk memberi sedikit bantuan. Dan anjangsana kami kali ini sekaligus ingin berpamitan bahwa pada hari itu kami akan kembali ke Kota Malang. Kami begitu terharu, sebab warga menyayangkan kehadiran kami yang hanya sekejap saja. Mereka masih menginginkan kami berada di sana lebih lama. Sayang, jadwal kami yang telah menunggu membuat kami tidak mampu untuk menjanjikan hal yang lebih. Kami memohon doa agar bisa kembali lagi bersilaturahim ke Dusun Mendek lagi lain waktu.

******

Bukit Bintang, sebuah tempat yang indah untuk merekam semua memori tiga hari berada di Dusun Mendek. Di sanalah kami menghabiskan waktu bersama anak-anak kecil Dusun Mendek sembari menunggu truk yang menjemput kami datang. Angin pegunungan yang begitu sejuk membuat kami tak beranjak dari sekitar tempat itu. Kami mengobrol, bercerita, jalan-jalan, berfoto-foto, dan merekam kembali tiga hari yang telah kami lalui. Tak terbayangkan, singkatnya berada di tempat itu. Dari Bukit Bintang, kota-kota terlihat begitu kecil, sangat kecil laksana titik-titik yang berkumpul menjadi satu. Maha Besar Alloh, kami merasa begitu kecil, begitu tidak berharga.

Acara penutupan Bakti Sosial berada di Masjid Ar-Rahmah. Kami mengucapkan terimakasih kepada keluarga Bapak Ghofur yang telah bersedia kami repotkan selama tiga hari itu, karena basecamp kami adalah rumah beliau. Lambaian tangan warga dan anak-anak kecil melepas kepergian kami. Sedikit kesedihan menyusup dalam hati. Para warga mengatakan pada kami bahwa jangan pernah kapok datang ke Dusun Mendek, karena kehadiran kami akan selalu ditunggu oleh mereka. Bagaimana kami tidak terharu?

Kami sadar, di luar sana masih banyak ‘Mendek-mendek’ lainnya, yang masih jarang tersentuh tangan pemerintah. Maka kami berharap, suatu saat nanti, kami bisa mengadakan Bakti Sosial kembali ke daerah-daerah yang lainnya.

******

Kami harus melewati jalan berliku untuk kembali ke Kota Malang. Meski hanya tiga hari, tapi kenangan tersebut begitu kuat melekat, begitu mengesankan. Dan tahukah Kawan, bahwa tiga hari itu berawal dari tiga minggu sebelumnya, dari sebuah sms yang tidak serius untuk mengisi liburan semester. Ketidakseriusan itu justru ditanggapi dengan keseriusan. Dari pada setengah-setengah, maka keseriusan itu berubah menjadi pembicaraan. Dan akhirnya kami berusaha untuk ‘berbicara’ dengan tindakan.

Alumni angkatan 2008 dari berbagai daerah berkumpul dan berdiskusi. Cukup sulit menyatukan kami dalam satu forum, sebab, jadwal kuliah dan daerah kami sudah jauh berbeda. Tapi kami tetap ingin kegiatan yang telah direncanakan terwujud. Semua berusaha bahu-membahu mewujudkan kegiatan tersebut. Pontang-panting menggali dana, mengumpulkan barang-barang, meminjam peralatan, dan lain sebagainya.

Bahkan, rekan-rekan yang tidak bisa ikut dalam acara Bakti Sosial pun ikut membantu mempersiapkan segala keperluan acara. Seperti mencuci baju, menyeterika, membuat papan-papan untuk perpustakaan, dan lain sebagainya. Kami bertekad acara Bakti Sosial harus benar-benar terlaksana.

Dan akhirnya, tiga hari menakjubkan telah terlewati. Semua proses dari titik nol semakin membuat kami bersemangat membenahi struktur ikatan alumni MAN 3 Malang angkatan 2008 yang diketuai oleh Fikrie Dzikrillah. Struktur yang telah terbenahi akan memudahkan kami mengadakan kegiatan-kegiatan lain sebagai sarana untuk bereuni. Dan kami yakin, meski daerah dan jadwal kami sudah jauh berbeda, tak akan menghalangi keinginan kami untuk terus menyambung tali silaturahim.
Akhirnya, semoga Alloh swt meridhoi niat kami, amin.


Blt, Feb 13th 09, 03.20 WIB
Written by: ila_caem

Dikutip dari : www.man3malang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar